Kamis, 22 Mei 2008

Kisah inspiratif

"Kita dibuat menjadi bijak
bukan oleh kepingan-kepingan masa lalu,
namun karena tanggung jawab kita atas masa depan"
(George Bernard Shaw -1856-1950-
Peraih Nobel Sastra 1925)

Ternyata tanggung jawab kita kepada masyarakat sangat banyak dan menunggu kita untuk menyelesaikannya.
Sebab-sebab masalah yang terjadi di masyarakat antara lain karena masalah kebodohan dan kemiskinan.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana peran kita dalam memikul tanggung jawab di masyarakat.
Itu adalah tanggung jawab kita, dan untuk memulainya kita harus mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai saat ini juga.
Berikut adalah salah satu kisah inspiratif yang suatu saat kita akan memerankannya:
( Doa kita yang akan didengar Allah SWT dan Allah akan mengirimkan bala tentaranya untuk mendukung kita. Amin )

Oleh : Muhammad Yunus
Peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2006
Bersama Alan Jolis
Belajar dari :
Kisah Muhammad Yunus dan Grameen Bank, dalam
Memerangi Kemiskinan
43. “Sekarang bilang saja apa yang kau mau dariku?”
Mengalami perjumpaan dan pembaruan
Bulan Oktorber 1977, dalam sebuah perjalanan ke ibukota Dhaka, saya mengalami perjumpaan secara kebetulan yang nantinya mengubah secara radikal upaya-upaya pembaruan kami mengucurkan kredit ke kaum miskin di desa Jobra. Untuk alasan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan Grameen, saya berada di kantor salah satu bank nasional terbesar, Bangladesh Krishi Bank (“Krishi” artinya “Pertanian”). Saya berpapasan dengan direktur pengelolanya yang adalah kawan saya. Begitu melihat saya, Mr. A.M. Anisuzzaman, seorang yang sangat lepas dan banyak bicara, melancarkan monolog panjang dan melelahkan yang menyerang saya dan akademisi lain karena tidak berbuat banyak untuk Bangladesh, tapi malah bersembunyi di menara gading universitas. Serangannya sungguh menohok: “Kalian ini para akademisi melalaikan kita. Kalian lupakan kewajiban sosial. Dan sistem perbankan negara ini busuk. Korupsi dan penggelapan dan sampah di mana-mana. Jutaan taka dicuri tiap tahun dari BKB tanpa jejak. Tak seorang pun bisa dimintai tanggung jawab atas apapun. Tentu bukan kalian, akademisi yang enggan kotor, memiliki pekerjaan nyaman dan jalan-jalan ke luar negeri. Kalian semua tak ada gunanya. Sama sekali tak ada gunanya! Aku sungguh-sungguh muak dengan apa yang kulihat di masyarakat ini. Tidak ada seorang pun yang memikirkan kaum miskin. Kuberitahu kau negeri ini sudah hina, dan layak mendapat semua masalah yang kini menimpanya.”
Anisuzzaman terus nyerocos. Ketika akhirnya mulai mereda, saya berkata, “Oke, aku senang mendengar kau mengatakan semua ini karena aku sebenarnya punya proposal yang mungkin menarik minatmu.”
Lalu saya paparkan uji coba yang saya lakukan di Jobra, menjelaskan bahwa mahasiswa saya bekerja sukarela tanpa digaji. “Mereka sumbangkan waktunya dan aku pakai anggaran kerja praktik untuk membayar pengeluaran mereka. Pinjaman dibayar kembali dan kondisi para peminjam kami membaik saat ini. Tetapi aku kuatir soal mahasiswaku. Mereka perlu diberi kompensasi atas pekerjaan ini, biar kecil sekalipun. Seluruh eksperimen ini diikat hanya dengan seutas benang. Uji coba ini memerlukan dukungan kelembagaan.”
Anisuzzaman mendengarkan cerita saya dengan seksama. Saat saya bicara, saya lihat dia tertarik dengan gagasan saya. Dia tampak bergairah.
“Apa masalah yang kau hadapi dengan Janata Bank?” tanyanya.
“Mereka menuntut aku menjamin pinjaman itu satu per satu. Aku akan ke Amerika selama tiga bulan menghadiri sidang Majelis Umum PBB, dan mereka ngotot mengirimkan dokumen-dokumen pinjaman agar aku tandatangani. Bisa kau bayangkan, alangkah tidak praktisnya itu!”
Dia menggelengkan kepalanya. “Bilang saja aku bisa bantu apa.”
Saya sangat gembira. Bisa jadi saya harus terus-terusan begini selama bertahun-tahun dan tidak akan pernah bertemu dengan seorang pendukung yang bersemangat. Saya jelaskan, “Janata Bank tidak bisa menolak program kami karena kami tidak pernah mengemplang utang. Tetapi mereka perlu dua sampai enam bulan untuk memproses setiap pinjaman baru. Setiap pinjaman harus mendapat persetujuan kantor pusat di Dhaka. Dan tiap kali mereka punya pertanyaan, perlu beberapa bulan untuk melalui rantai birokrasi dan kembali lagi. Sangat sulit bekerja seperti ini.”
Anisuzzaman melambaikan tangannya dengan tidak sabar. “Kau tidak bisa terus-terusan seperti ini. Ini tidak masuk akal. Sekarang bilang saja apa yang kau mau dariku?”
“Dari Krishi Bank?”
“Baiklah.” Otak saya terpacu. “Kukira aku ingin Bank Pertanian mendirikan cabang di Jobra dan menyerahkan pengurusannya padaku. Akan kususun aturan dan prosedurnya serta akan kuangkat sendiri stafku. Dan aku minta diberi izin mengucurkan pinjaman sampai sejuta taka. Beri aku batas sampai sejuta taka, beri aku waktu setahun lalu tutup petinya dan biarkan aku bekerja. Setahun kemudian, buka dan lihatlah apa aku masih hidup. Jika kau suka dengan apa yang kukerjakan, perluas programnya. Jika tidak, tinggal tutup saja cabang itu dan lupakanlah. Pakai aku sebagai ujicoba. Jika tidak ada seorang pun yang membayar kembali pinjaman yang kami kucurkan, maka kau paling banyak hanya akan rugi sejuta taka.”
“Baiklah,” kata Anisuzzaman. Dia mengangkat telepon dan memerintahkan sekretarisnya, “Sambungkan ke manajer Wilayah Chittagong.” Dia menutupi gagang teleponnya dan bertanya, “Kapan kau kembali ke Chittagong?”
“Besok.”
“Dengan pesawat siang?”
Suara lain terdengar di saluran telepon dan Anisuzzaman berkata, “Kawan saya, Profesor Yunus, akan terbang kembali dari Dhaka besok. Dia akan kembali ke kampusnya jam 5 sore. Saya ingin Anda menjumpai dia di rumahnya, dan saya ingin Anda mencatat perintah darinya. Apapun yang dikatakannya, apapun yang diinginkannya, semua itu perintah saya. Mengerti?”
“Ya, Pak.”
Ada pertanyaan?” Anisuzzaman berkata pada orang di telepon itu.
“Tidak, Pak.”
“Bagus. Sekarang saya tidak ingin mendengar ada yang salah. Saya tidak mau Profesor Yunus datang ke kantor saya mengeluh karena perintahnya tidak dituruti. Anda paham?”
Begitu keluar dari kantor Anisuzzaman, benak saya masih mengawang-awang. Saya lihat seorang gadis sedang menyapu jalan. Tubuhnya kurus kering, tanpa alas kaki, dan hidungnya ditindik anting. Seperti ribuan penyapu jalan di Dhaka, perempuan ini akan bekerja sepanjang hari, 7 hari seminggu, dan upahnya hanya cukup untuk bertahan hidup. Meski begitu, dia termasuk salah satu yang “beruntung” karena punya pekerjaan. Program kredit yang ingin saya kembangkan adalah untuk perempuan seperti ini dan untuk seluruh perempuan yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan meski hanya sebagai penyapu jalan.
Saat itu, saya tahu apa yang saya kerjakan ini benar.



_________

Tidak ada komentar: